Kamis, 09 Januari 2014

Tugas 3 Budaya Pulang Mudik

TUGAS ILMU BUDAYA DASAR
”BUDAYA PULANG MUDIK”

disusun oleh:
Ra. Dina Azizah
Kelas: 1EA31
Npm: 17213072
Fakultas: Ekonomi
Jurusan: Manajemen


UNIVERSITAS GUNADARMA




BUDAYA PULANG MUDIK

Satu kebiasaan yang mungkin tak akan pernah hilang menjelang hari raya Idul Fitri adalah mudik. Mudik atau pulang kampung memang telah menjadi tradisi yang diwariskan dan dilestarikan sekian lama oleh masyarakat Indonesia. Meskipun tidak hanya berlaku dalam kehidupan masyarakat muslim atau menjelang hari raya Idul Fitri saja, namun tak dipungkiri jika mudik menjelang lebaran telah menjadi fenomena.
Jutaan orang bergerak pulang menuju kampung halaman. Terminal bis, stasiun kereta, pelabuhan dan bandara menjadi sangat sibuk dari biasanya. Berbagai jenis moda transportasi pun bekerja keras mengantarkan jiwa-jiwa yang merindukan kampung halaman. Lebaran 2013 ini diperkirakan 24 juta pemudik bergerak menuju  kampung halaman. Jumlah yang setara dengan 90% penduduk Malaysia.
Meski ditempatkan sebagai sesuatu yang tak ada kaitannya dengan ajaran Islam namun mudik tak pernah terhapus sebagai tradisi. Mudik merupakan kenyataan yang tak bisa dipungkiri sebagai kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia. Mudik ditempatkan sebagai bahasa budaya sementara Idul Fitri adalah bahasa agama.
Mudik merupakan bentuk sinergi antara ajaran agama dengan budaya atau tradisi masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah tradisi mudik telah mengakar secara kuat. Sementara dalam pandangan agama berbagai tradisi dalam mudik diyakini memiliki landasan. Dengan demikian makna mudik sebenarnya tak hanya sebagai kebiasaan pulang kampung melainkan erat kaitannya dengan berbagai sifat dan dimensi kehidupan manusia.
Secara kultural mudik memang sebuah warisan atau bahkan keharusan. Tapi secara moral dan spiritual mudik juga menjadi wujud bakti anak kepada orang tua. Kebiasaan sungkeman, meminta maaf hingga berziarah mendoakan anggota keluarga yang telah tiada menunjukkan jika mudik bukan hanya perjalanan fisik namun juga rohani. Sungkeman atau cium tangan orang tua bukan hanya bentuk kontak fisik melainkan memiliki makna secara spiritual karena orang tua dapat dianggap sebagai perantara bagi seorang anak dalam mengenal Tuhan. Pada akhirnya Ikatan batin dengan orang tua serta kewajiban mendoakan anggota keluarga seperti ini turut melestarikan melestarikan tradisi mudik.
Mudik juga mengukuhkan sifat manusia sebagai makhluk sosial. Silaturahmi yang terjalin selama mudik merupakan interaksi manis antara seorang manusia dengan sesamanya. Melalui silaturahmi kita diingatkan kembali bahwa seorang manusia tak akan bisa mempertahankan hidup dan kehidupannya tanpa bantuan dan interaksi dengan sesamanya. Pada akhirnya silaturahmi sebagai bagian dari mudik menjadi sarana yang sangat humanis dan interaktif untuk membangun toleransi karena mudik dan silaturahmi juga dijalankan dan dijalin oleh banyak masyarakat dari berbagai latar perbedaan termasuk agama.

Demi mudik keselamatan dan kenyamanan seringkali dinomorduakan.
Secara psikologi mudik mencerminkan sifat manusia yang perindu. Mereka yang mudik adalah jiwa-jiwa yang rindu sekaligus lelah. Kerasnya kehidupan di kota dengan segela rutinitas yang membuat penat membuat orang merindukan kembali kehidupan masa kecilnya yang indah dengan suasana pedesaan yan asri. Dengan demikian mudik tak hanya pulang kampung untuk merayakan lebaran namun juga menjadi sarana nostalgia sekaligus pengobat jiwa-jiwa yang lelah.
Dalam dimensi sosial mudik juga menjadi saran untuk berbagi dan tolong menolong. Bukan hanya karena kewajiban mengeluarkan zakat fitrah menjelang Idul Fitri, namun juga berbagi rezeki dalam beberapa hal lainnya. Tradisi memberikan oleh-oleh dari kota kepada kerabat dan tetangga di kampung. Kebiasaan membagikan selembar uang kertas baru kepada anak-anak. Beberapa orang bahkan kerap memberikan tumpangan kendaraan kepada tetangganya yang hendak mudik menuju daerah yang sama.
Namun tak dipungkiri juga bahwa mudik juga kerap menjadi sebuah euforia dan media unjuk eksistensi diri. Dalam niat mudik seringkali terselip keinginan yang kuat untuk mempertontonkan keberhasilan. Dalam persiapannya pun mudik sudah didahului dengan gaya hidup hedonis dan konsumtif. Hasrat dan keinginan mudik yang tinggi seringkali membuat orang memaksakan diri demi sebuah prestise. Akhirnya mudik justru menghadirkan berbagai masalah besar seperti kemacetan, kecelakaan hingga kejahatan. Mudik juga menyebabkan arus tandingan yang selalu penuh masalah yakni urbanisasi. Tak heran jika banyak pendapat yang menyimpulkan bahwa tradisi mudik di Indonesia telah melahirkan keretakan budaya dan menggeser spirit yang seharusnya dibangun dari Idul Fitri.
Mudik sebaiknya dimaknai sebagai sarana meningkatkan ikatan spiritual antara manusia kepada penciptanya dengan kembali ke fitri (kesucian). Melalui mudik manusia bisa senantiasa bersyukur karena masih dan selalu diberi kenikmatan oleh Sang Pencipta. Kenikmatan atas perjumpaan yang indah dengan Ramadan dan Idul Fitri. Kenikmatan untuk memperoleh rezeki dan kemudian bisa berbagi. Kenikmatan karena bisa hidup di tengah-tengah masyarakat yang hangat dan kehidupan tetangga yang saling menghargai. Serta kenikmatan karena memiliki kesempatan berbakti dan masih  bisa mencium tangan kedua orang tua.
Akhirnya selamat mudik, Selamat Idul Fitri dan mohon maaf lahir batin

BUDAYA MUDIK CIRI DARI MASYARAKAT TRANSISI

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “mudik’ diartikan sebagai: 1. (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman). 2. pulang ke kampung halaman,sedangkan dalam bahasa inggris mudik berarti (home to the village) atau biasa dikatakan pulang kampung. Adapun istilah mudik dalam ilmu social sama dengan mobilitas yaitu merupakan fenomena pergerakan manusia dari suatu daerah tujuan ke daerah asal dalam batas wilayah dan waktu tertentu. Fenomena mudik bisa terjadi dimana saja selama manusia melakukannya namun hal ini tergantung dari beberapa faktor yang menyebabkan fenomena mobilitas terjadi. Akan tetapi fenomena mobilitas ini lebih sering ditemukan di masyarakat perkotaan yang senantiasa setiap hari melakukan berbagai aktifitasnya.
Dimana fenomena mudik terjadi? Sudah barang tentu mudik biasa terjadi di kota kota besar, hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk Indonesia melakukan migrasi dari desa ke kota. Mereka melakukan perpindahan secara temporer bahkan ada juga yang menetap. Pergerakan ini disebabkan berbagai factor diantaranya yaitu push factor (factor pendorong) dan pull factor (factor penarik). Sebagimana menurut Abdurachmat (Harmanto, 2008:42)  salah satu factor pendorong dari desa diantaranya yaitu : Menyempitnya lapangan pekerjaan di sector agraris, fasilitas pendidikan di desa kurang memadai, upah di desa rendah dll. Sedangkan factor penarik yaitu daerah tujuan atau kota sebagai tujuannya diantaranya yaitu : lapangan pekerjaan di kota beragam, fasilitas social memadai, sebagai pusat pengembangan budaya, upah dikota tinggi, kota sebagai pusat pemasaran. Factor inilah yang melatarbelakangi seseorang melakukan perpindahan (mobilitas penduduk) ke kota. Banyaknya masyarakat desa yang pergi ke kota tentunya membawa pengaruh baik bagi desa (tempat asal) maupun bagi kota (tempat tujuan) sehingga hal ini juga merupakan salah satu timbulnya mudik yang terjadi setiap tahunnya.
Kapan fenomena mudik terjadi? Mudik sebetulnya tidak hanya terjadi setiap tahun. Bisa saja seseorang melakukan mudik secara harian, mingguan, bahkan bulanan. Bagi yang melakukan mudik secara harian biasanya dilakukan oleh seseorang yang tidak jauh dari tempat tinggalnya, sebagai contoh seseorang bekerja di kota namun tempat tinggal di daerah pinggiran kota, sehingga pada waktu pagi hari dia berangkat bekerja ke tempat tujuan dan pada sore hari pulang lagi ke daerah asalnya (tempat tinggalnya) istilah lain yaitu commuter/ulak alik. Bagi sebagian orang terkadang mudik dilakukan setiap minggu, kebiasaan ini dilakukan seseorang yang bekerja di daerah kota namun tempat tinggal di daerah pinggiran. Pada umumnya alasan sesorang melakukan mobilitas sirkuler ini yaitu untuk menekan biaya transportasi pulang pergi dari tempat asal ke tujuan sehingga orang tersebut menetap sementara di tempat kerja dalam waktu beberapa hari setelah itu  pulang kampung dalam waktu mingguan. Selanjutnya adapula seseorang melakukan mudik dalam jangka bulanan, biasanya hal ini dilakukan oleh para karyawan pabrik yang berada dikawasan dekat dengan tempat ia bekerja alasannya tentunya sama halnya dengan para pekerja yang melakukan mudik mingguan yaitu menekan biaya ongkos dan memudahkan dalam melakukan pekerjaan agar lebih efektif tepat waktu. Kebiasaan ini banyak terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Tangerang, Bandung, Surabaya dll. Mobilitas sirkuler ini tentunya bagi para pekerja yang dekat dengan wilayah dia tinggal Sebagai contoh orang Pandeglang bekerja di Tangerang atau orang Serang bekerja di Jakarta.  Selain itu ada pula mudik yang bersifat tahunan, bentuk mobilitas ini biasanya dilakukan seseorang sekali dalam satu tahun, hal ini merupakan kebiasaan bahkan menjadi sebuah tradisi bagi masyarakat kita. kegiatan rutinitas tahunan ini biasanya dilakukan pada saat bulan Ramadhan menjelang hari besar idoel fitri (Lebaran). Adapun seseorang yang melakukan mobilitas ini tentunya sebagian besar masyarakat desa yang tinggal di kota kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan yang lainnya. Bahkan tidak hanya bagi masyarakat desa akan tetapi bagi masyarakat yang sudah menetap di kota pada kesempatan ini sengaja meluangkan waktu untuk mengunjungi sanak saudara atau orang tua, hal ini tentunya bagi masyarakat kota yang masih memiliki sanak saudara yang tinggal di desa atau kota lainnya.   Oleh sebab itu dalam kajian geografi mudik merupakan migrasi temporer (mobilitas sirkuler) yang mana penduduk melakukan perpindahan dalam batasan wilayah dan waktu tertentu.  Bentuk mobilitas sirkuler ini berupa mingguan, bulanan atau setiap tahun sekali.
Kenapa mudik terjadi? Mudik terjadi bukan semata mata sebagai bentuk mobilitas sirkuler semata namun mudik sudah menjadi budaya bangsa Indonesia, mudik merupakan salah satu kebiasaan yang dilakukan masyarakat Indonesia sejak dulu. Bahkan sejak manusia purba, budaya mudik sudah ada salah satunya yaitu  dalam kebiasaan hidup berkelompok, manusia purba melakukan kegiatan berburu dan meramu yang mana seorang kepala rumah tangga pergi berburu  secara berkelompok bersama sama sedangkan para istrinya menunggu di rumah untuk  mengurusi anak dan menjaga rumah sampai suaminya datang. Kegiatan ini terkadang berhari-hari bahkan berminggu minggu, setelah itu baru mereka melakukan mudik atau pulang ke tempat asalnya dengan membawa hasil buruan untuk kebutuhan hidupnya. Bisa dikatakan berburu dan meramu,merupakan salah satu cirri dari masyarakat purba, namun ada juga kebiasaan manusia purba yang lain yaitu hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya guna mencari kebutuhan hidupnya apabila tempat yang dia tinggali sudah tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga mereka melakukan ekspansi ke wilayah lain. istilah ini biasa dikatakan sebagai Nomaden. Begitupun pada masyarakat sekarang ini fenomena mudik terjadi karena adanya fenomena migrasi, artinya bahwa kenapa ada mudik jawabannya karena adanya migrasi. Mustahil adanya mudik apabila tidak ada migrasi. Oleh sebab itu jika kita perhatikan dari tahun ke tahun fenomena mudik semakin bertambah hal ini tentunya seiring dengan jumlah migrasi ke kota-kota besar. Menurut survey beberapa kota yang menjadi sasaran mirgasi penduduk diantaranya yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan hal ini dilihat dari jumlah pertambahan penduduk tiap tahun yang terus meningkat.
Masyarakat transisi  dan budaya mudik
Menurut Pasya dkk (2004 :206) masyarakat transisi merupakan masyarakat yang berada diantara masyarakat tradisional dengan masyarakat modern, atau masyarakat peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Lebih jelasnya menyatakan bahwa Kehidupan masyarakat ini umumnya berada pada wilayah marginal atau pinggiran kota –desa, secara fisik masih berada dalam di daerah administrasi desa tetapi pengaruh kota terhadap kehidupan sudah nampak. Sejalan dalam itu Pasya (2004: 212) membagi masyarakat transisi berdasarkan letak dimana masyarakat itu berada, pembagian tersebut yaitu masyarakat transisi yang berada di pedesaan, masyarakat transisi yang berada di pinggiran kota, dan masyarakat transisi yang berada di perkotaan. dari ketiga masyarakat transisi tersebut memiliki ciri –ciri yang khas dalam perkembangannya terutama dalam pendidikan, mata pencaharian, kesehatan, lingkungan, dan mentalitas penduduknya. Berkaitan dengan masalah kependudukan dalam hal ini yaitu masalah urbanisasi dan perilaku masyarakatnya ternyata masyarakat transisi yang berada di kota yang lebih banyak menimbulkan masalah social, seperti kesenjangan, kesehatan, konflik dll. Hal ini dikarenakan mereka hidup dan menjadi masyarakat kota namun masih banyak yang masih membawa sifat dan sikap (mentalitas) tradisional sebagimana dibawa dari daerah asal. Mentalitas  sebagai masyarakat transisi bagi mereka yang berada di perkotaan sebagai pendatang, tidak akan secara langsung menjadi masyarakat modern melainkan memerlukan proses yang kecepatannya tergantung  pada mereka sendiri untuk cepat berubah dan menyesuaikan diri mejadi masyarakat modern. Perubahan mentalitas ini tentunya akan lambat apabila masyarakat pendatang masih bergaul dan bertempat tinggal dan berusaha dengan yang memiliki mentalitas yang sama.
Fenomen mudik hubungannya dengan masyarakat transisi, sejauh ini fenomena mudik terjadi dikota-kota besar, namun jika kita analisis lagi bahwa masyarakat yang melakukan mudik bukan masyarakat kota asli, akan tetapi masyarakat desa yang hidup di kota sehingga bisa dikatakan masyarakt tersebut adalah masyarakat transisi, sebagaimana yang telah dijelasakn bahwa masyarakat transisi ini masih bersifat tradisional artinya secara jasmani tinggal di kota namun secara mental masih memiliki sifat daerah asal, sehingga budaya-budaya local masih dipegang erat. Berbeda dengan masyarakat kota yang cenderung hidup modern, yang selalu menganggap segala sesuatu diukur dengan materialistic, sehingga gaya hidupnya cenderung lebih bersifat duniawi. Oleh sebab itu apabila dikaitkan dengan masalah mudik tentunya masyarakat transisi yang lebih banyak disoroti karena masyarakat inilah yang lebih banyak melakukan mudik dalam konteks tradisi. Masyarakat transisi ini cenderung melakukan mudik sebagai suatu tradisi yang harus dilakukan sebagai wujud kepatuhan terhadap adat keluarga di dalam daerah tertentu. apalagi budaya mudik ini tidak akan terlepas dari perkembangan bangsa ini, karena hanya bangsa-bangsa yang sedang berkembang yang memiliki banyak masyarakat transisi yaitu peralihan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern.
Bagaimana mengatasi mudik? sebagian orang mudik merupakan masalah bagi pemerintah, namun ada  juga fenomena mudik ini merupakan hal yang wajar karena merupakan sebuah tradisi suatu bangsa, akan tetapi apabila mudik dijadikan sebuah permasalahan tentunya harus dicari solusi agar fenomena mudik ini dapat terselesaikan. Untuk menjawab pertanyaan ini tentunya akan lebih mudah di jawab apabila kita memahami apa itu fenomena mudik, kenapa dan mengapa sehingga akan ada solusi yang relevan dan akurat. Sudah dikemukakan diatas bahwa fenomena mudik merupakan gejala yang ditimbulkan akibat dari migrasi penduduk, dalam hal ini yaitu masuknya masyarakat pedesaan ke kota dalam jumlah yang banyak. Namun disisi lain bahwa tidak semata-mata penduduk melakukan migrasi tanpa ada alasan yang jelas ke daerah tujuan. Oleh sebab itu yang perlu dikaji adalah kenapa sebagian penduduk desa melakukan migrasi ke kota, alasan inilah yang harus ditangani oleh pemerintah agar penduduk desa tetap tinggal di daerahnya masing-masing namun masyarakat dapat sejahtera. Sebagai gambaran nya yaitu sejauhmana pemerintah memberikan pelayanan dan pemerataan pembangunan di berbagai bidang pada daerah secara merata agar tekanan migrasi ke kota semakin kecil. Namun  sejauh ini dapat kita rasakan bersama bagaimana pemerintah membangun bangsa ini bukan semakin maju malahan semakin terpuruk.
penulis : G. Gunawan,S.Pd
Mudik dalam Perspektif Budaya dan Syariat



Oleh Prof. Dr. Misri A. Muchsin, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.
MUDIK (pulang atau kembali ke kampung halaman) menjelang lebaran atau Hari Raya Idul Fitri (terkadang juga lebaran Hari Raya Haji atau Idul Adha) setiap tahunnya menjadi satu fenomena masyarakat Muslim modern di berbagai belahan dunia. Tradisi ini mengasyikkan. Betapa tidak, setelah beberapa lama merantau di “negeri” orang --jauh dari orang tua dan sanak kerabat lainnya-- kerap menimbulkan kerinduan akan kampung halaman atau tanah kelahiran.
Keinginan untuk berjumpa kembali dengan orang-orang terdekat yang telah lama (minimal satu tahun terakhir) ditinggalkan itu lumrah adanya dan menjadi harapan semua pihak. Oleh karenanya mudik menjadi yang sesuatu didambakan banyak orang. Terlebih pada hari baik dan bulan baik menjelang Hari Raya Idul Fitri ini.
Fenomena mudik bukan hanya masyarakat Aceh, tetapi masyarakat Muslim Indonesia dan malah muslim dunia juga melakukannya. Berapa banyak TKI-TKW dan mahasiswa yang kembali ke Indonesia pada masa-masa jelang lebaran, misalnya dari Malaysia, Singapura, Korea, dan malah dari Arab Saudi serta Negara-negara Timur Tengah lainnya. Begitu juga dengan orang-orang Maghrib (Marokko), Tunisia dan Aj-Jazair yang bekerja di negara-negara lain di Eropa, Amerika dan di negara-negara Timur Tengah sendiri, mereka juga pulang kampung atau mudik pada hari-hari baik, khususnya pada menjelang lebaran Idul Fitri.
Mereka pulang mulai yang menggunakan pesawat terbang, kapal laut, bus, kereta api, sampai mobil dan sepeda motor, sehingga kadang-kadang jalan menjadi penuh sesak dan macet. Pertanyaannya, bagaimana perspektif syariat Islam dalam hal mudik? Adakah anjuran atau larangan soal pulang kampung tersebut?
Dalam hal ini, jika dicermati satu firman Allah Swt berikut: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu persekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu Sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa’: 36)
Dalam ayat tersebut di atas, Allah Swt dengan jelas dan tegas memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik kepada orang tua, karib kerabat, tetangga, teman sejawat dan seterusnya. Dan ini menjadi satu kewajiban bagi semua hamba yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Berbuat baik dimaksudkan antara lain dengan mudik untuk bertemu, bersalaman guna saling memaafkan dan sampai-sampai melepas kerinduan.
Tidak hanya itu bagi pemudik biasanya membawa pulang sejumlah uang dan barang sebagai hasil jerih payahnya selama di perantauan. Pemudik yang baik, biasanya tidak hanya diperuntukkan bagi keluarga utamanya saja, tetapi juga dia berbagi untuk keluarga dekat, tetangga dan teman sejawat dan seterusnya. Biasanya malah mengadakan kenduri adalah bentuk syukur nikmat dan bersedekah dengan lebih luas dan merata kepada masyarakatnya. Semua itu menjadi daya tarik dan kebanggaan sendiri bagi pemudik, calon perantau lain dan keluarganya.
Dari sisi lain lagi, dapat dilihat mudik  sebagai upaya menyambung dan mempererat hubungan silaturrahim. Setelah sekian lama mereka tidak bertemu, tidak ngumpul dan tidak melakukan tukar informasi, maka dengan mudik tali silaturrahim akan tersambung. Lebih-lebih bagi orang yang paham akan pentingnya bersilaturrahim, yaitu akan dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka pilihan untuk mudik menjadi lebih bermakna dan berguna bagi kehidupan seseorang di masa datang, sebagaimana sabda Nabi saw: “Dari Anas ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkaan umurnya, maka hendaklah ia suka bersilaturrahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa dalam perspektif budaya, mudik menjadi tradisi yang terus eksis dan disukai oleh umat Islam dewasa ini. Pada sisi lain, dalam sudut pandang syari’at Islam mudik, paling tidak berhubungan dengan prinsip berbuat baik dan bersilaturrahim, adalah hal-hal yang dianjurkan dalam syariat Islam. Dengan mudik seseorang dapat mengaplikasi bentuk pengabdian dan berbuat baiknya kepada orang tua, anggota keluarga, dan kerabat lainnya. Kemudian dengan mudik pula hubungan silaturrahmi yang selama ini mungkin sudah renggang, dapat terajut kembali dengan baik. Wallahu A’lam bish-shawab!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar