TUGAS ILMU BUDAYA DASAR
”BUDAYA PULANG MUDIK”
disusun oleh:
Ra. Dina Azizah
Kelas: 1EA31
Npm: 17213072
Fakultas:
Ekonomi
Jurusan:
Manajemen
UNIVERSITAS
GUNADARMA
BUDAYA
PULANG MUDIK
Satu kebiasaan yang mungkin
tak akan pernah hilang menjelang hari raya Idul Fitri
adalah mudik. Mudik atau pulang kampung memang telah menjadi tradisi yang
diwariskan dan dilestarikan sekian lama oleh masyarakat Indonesia. Meskipun
tidak hanya berlaku dalam kehidupan masyarakat muslim atau menjelang hari raya
Idul Fitri saja, namun tak dipungkiri jika mudik menjelang lebaran telah
menjadi fenomena.
Jutaan orang bergerak pulang
menuju kampung halaman. Terminal bis, stasiun kereta,
pelabuhan dan bandara menjadi sangat sibuk dari biasanya. Berbagai jenis moda
transportasi pun bekerja keras mengantarkan jiwa-jiwa yang merindukan kampung
halaman. Lebaran 2013 ini diperkirakan 24 juta pemudik bergerak menuju
kampung halaman. Jumlah yang setara dengan 90% penduduk Malaysia.
Meski ditempatkan sebagai
sesuatu yang tak ada kaitannya dengan ajaran Islam
namun mudik tak pernah terhapus sebagai tradisi. Mudik merupakan kenyataan yang
tak bisa dipungkiri sebagai kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia. Mudik
ditempatkan sebagai bahasa budaya sementara Idul Fitri adalah bahasa agama.
Mudik merupakan bentuk
sinergi antara ajaran agama
dengan budaya atau tradisi masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah
tradisi mudik telah mengakar secara kuat. Sementara dalam pandangan agama berbagai
tradisi dalam mudik diyakini memiliki landasan. Dengan demikian makna mudik
sebenarnya tak hanya sebagai kebiasaan pulang kampung melainkan erat kaitannya
dengan berbagai sifat dan dimensi kehidupan manusia.
Secara kultural mudik
memang sebuah warisan atau bahkan keharusan. Tapi
secara moral dan spiritual mudik juga menjadi wujud bakti anak kepada orang tua.
Kebiasaan sungkeman, meminta maaf hingga berziarah mendoakan anggota keluarga
yang telah tiada menunjukkan jika mudik bukan hanya perjalanan fisik namun juga
rohani. Sungkeman atau cium tangan orang tua bukan hanya bentuk kontak fisik
melainkan memiliki makna secara spiritual karena orang tua dapat dianggap
sebagai perantara bagi seorang anak dalam mengenal Tuhan. Pada akhirnya Ikatan
batin dengan orang tua serta kewajiban mendoakan anggota keluarga seperti ini
turut melestarikan melestarikan tradisi mudik.
Mudik juga mengukuhkan
sifat manusia sebagai makhluk sosial. Silaturahmi yang terjalin selama
mudik merupakan interaksi manis antara seorang manusia dengan sesamanya.
Melalui silaturahmi kita diingatkan kembali bahwa seorang manusia tak akan bisa
mempertahankan hidup dan kehidupannya tanpa bantuan dan interaksi dengan
sesamanya. Pada akhirnya silaturahmi sebagai bagian dari mudik menjadi sarana yang
sangat humanis dan interaktif untuk membangun toleransi karena mudik dan
silaturahmi juga dijalankan dan dijalin oleh banyak masyarakat dari berbagai
latar perbedaan termasuk agama.
Demi mudik
keselamatan dan kenyamanan seringkali dinomorduakan.
Secara psikologi mudik
mencerminkan sifat manusia yang perindu. Mereka yang mudik adalah
jiwa-jiwa yang rindu sekaligus lelah. Kerasnya kehidupan di kota dengan segela
rutinitas yang membuat penat membuat orang merindukan kembali kehidupan masa
kecilnya yang indah dengan suasana pedesaan yan asri. Dengan demikian mudik tak
hanya pulang kampung untuk merayakan lebaran namun juga menjadi sarana
nostalgia sekaligus pengobat jiwa-jiwa yang lelah.
Dalam dimensi sosial
mudik juga menjadi saran untuk berbagi dan tolong menolong. Bukan
hanya karena kewajiban mengeluarkan zakat fitrah menjelang Idul Fitri, namun
juga berbagi rezeki dalam beberapa hal lainnya. Tradisi memberikan oleh-oleh
dari kota kepada kerabat dan tetangga di kampung. Kebiasaan membagikan selembar
uang kertas baru kepada anak-anak. Beberapa orang bahkan kerap memberikan
tumpangan kendaraan kepada tetangganya yang hendak mudik menuju daerah yang
sama.
Namun tak dipungkiri juga
bahwa mudik juga kerap menjadi sebuah euforia dan media
unjuk eksistensi diri. Dalam niat mudik seringkali terselip keinginan yang kuat
untuk mempertontonkan keberhasilan. Dalam persiapannya pun mudik sudah
didahului dengan gaya hidup hedonis dan konsumtif. Hasrat dan keinginan mudik
yang tinggi seringkali membuat orang memaksakan diri demi sebuah prestise.
Akhirnya mudik justru menghadirkan berbagai masalah besar seperti kemacetan,
kecelakaan hingga kejahatan. Mudik juga menyebabkan arus tandingan yang selalu
penuh masalah yakni urbanisasi. Tak heran jika banyak pendapat yang menyimpulkan
bahwa tradisi mudik di Indonesia telah melahirkan keretakan budaya dan
menggeser spirit yang seharusnya dibangun dari Idul Fitri.
Mudik sebaiknya
dimaknai sebagai sarana meningkatkan ikatan spiritual antara manusia kepada
penciptanya dengan kembali ke fitri (kesucian). Melalui mudik manusia bisa
senantiasa bersyukur karena masih dan selalu diberi kenikmatan oleh Sang
Pencipta. Kenikmatan atas perjumpaan yang indah dengan Ramadan dan Idul Fitri.
Kenikmatan untuk memperoleh rezeki dan kemudian bisa berbagi. Kenikmatan karena
bisa hidup di tengah-tengah masyarakat yang hangat dan kehidupan tetangga yang
saling menghargai. Serta kenikmatan karena memiliki kesempatan berbakti dan
masih bisa mencium tangan kedua orang tua.
Akhirnya selamat mudik, Selamat
Idul Fitri dan mohon maaf lahir batin
BUDAYA MUDIK CIRI DARI
MASYARAKAT TRANSISI
Di dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “mudik’ diartikan sebagai: 1. (berlayar,
pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman). 2. pulang ke kampung halaman,sedangkan
dalam bahasa inggris mudik berarti (home to the village) atau biasa dikatakan
pulang kampung. Adapun istilah mudik dalam ilmu social sama dengan mobilitas
yaitu merupakan fenomena pergerakan manusia dari suatu daerah tujuan ke daerah
asal dalam batas wilayah dan waktu tertentu. Fenomena mudik bisa terjadi dimana
saja selama manusia melakukannya namun hal ini tergantung dari beberapa faktor
yang menyebabkan fenomena mobilitas terjadi. Akan tetapi fenomena mobilitas ini
lebih sering ditemukan di masyarakat perkotaan yang senantiasa setiap hari
melakukan berbagai aktifitasnya.
Dimana
fenomena mudik terjadi? Sudah barang tentu mudik biasa terjadi di kota kota
besar, hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk Indonesia melakukan migrasi
dari desa ke kota. Mereka melakukan perpindahan secara temporer bahkan ada juga
yang menetap. Pergerakan ini disebabkan berbagai factor diantaranya yaitu push
factor (factor pendorong) dan pull factor (factor penarik). Sebagimana menurut
Abdurachmat (Harmanto, 2008:42) salah satu factor pendorong dari desa
diantaranya yaitu : Menyempitnya lapangan pekerjaan di sector agraris,
fasilitas pendidikan di desa kurang memadai, upah di desa rendah dll. Sedangkan
factor penarik yaitu daerah tujuan atau kota sebagai tujuannya diantaranya yaitu
: lapangan pekerjaan di kota beragam, fasilitas social memadai, sebagai pusat
pengembangan budaya, upah dikota tinggi, kota sebagai pusat pemasaran. Factor
inilah yang melatarbelakangi seseorang melakukan perpindahan (mobilitas
penduduk) ke kota. Banyaknya masyarakat desa yang pergi ke kota tentunya
membawa pengaruh baik bagi desa (tempat asal) maupun bagi kota (tempat tujuan)
sehingga hal ini juga merupakan salah satu timbulnya mudik yang terjadi setiap
tahunnya.
Kapan
fenomena mudik terjadi? Mudik sebetulnya tidak hanya terjadi setiap tahun. Bisa saja seseorang
melakukan mudik secara harian, mingguan, bahkan bulanan. Bagi yang melakukan
mudik secara harian biasanya dilakukan oleh seseorang yang tidak jauh dari
tempat tinggalnya, sebagai contoh seseorang bekerja di kota namun tempat
tinggal di daerah pinggiran kota, sehingga pada waktu pagi hari dia berangkat
bekerja ke tempat tujuan dan pada sore hari pulang lagi ke daerah asalnya
(tempat tinggalnya) istilah lain yaitu commuter/ulak alik. Bagi sebagian orang
terkadang mudik dilakukan setiap minggu, kebiasaan ini dilakukan seseorang yang
bekerja di daerah kota namun tempat tinggal di daerah pinggiran. Pada umumnya
alasan sesorang melakukan mobilitas sirkuler ini yaitu untuk menekan biaya
transportasi pulang pergi dari tempat asal ke tujuan sehingga orang tersebut
menetap sementara di tempat kerja dalam waktu beberapa hari setelah itu
pulang kampung dalam waktu mingguan. Selanjutnya adapula seseorang
melakukan mudik dalam jangka bulanan, biasanya hal ini dilakukan oleh para
karyawan pabrik yang berada dikawasan dekat dengan tempat ia bekerja alasannya
tentunya sama halnya dengan para pekerja yang melakukan mudik mingguan yaitu
menekan biaya ongkos dan memudahkan dalam melakukan pekerjaan agar lebih efektif
tepat waktu. Kebiasaan ini banyak terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta,
Tangerang, Bandung, Surabaya dll. Mobilitas sirkuler ini tentunya bagi para
pekerja yang dekat dengan wilayah dia tinggal Sebagai contoh orang Pandeglang
bekerja di Tangerang atau orang Serang bekerja di Jakarta. Selain itu ada
pula mudik yang bersifat tahunan, bentuk mobilitas ini biasanya dilakukan
seseorang sekali dalam satu tahun, hal ini merupakan kebiasaan bahkan menjadi
sebuah tradisi bagi masyarakat kita. kegiatan rutinitas tahunan ini biasanya
dilakukan pada saat bulan Ramadhan menjelang hari besar idoel fitri (Lebaran).
Adapun seseorang yang melakukan mobilitas ini tentunya sebagian besar
masyarakat desa yang tinggal di kota kota besar seperti Jakarta, Bandung,
Surabaya dan yang lainnya. Bahkan tidak hanya bagi masyarakat desa akan tetapi
bagi masyarakat yang sudah menetap di kota pada kesempatan ini sengaja
meluangkan waktu untuk mengunjungi sanak saudara atau orang tua, hal ini
tentunya bagi masyarakat kota yang masih memiliki sanak saudara yang tinggal di
desa atau kota lainnya. Oleh sebab itu dalam kajian geografi mudik
merupakan migrasi temporer (mobilitas sirkuler) yang mana penduduk melakukan
perpindahan dalam batasan wilayah dan waktu tertentu. Bentuk mobilitas sirkuler
ini berupa mingguan, bulanan atau setiap tahun sekali.
Kenapa mudik
terjadi? Mudik
terjadi bukan semata mata sebagai bentuk mobilitas sirkuler semata namun mudik
sudah menjadi budaya bangsa Indonesia, mudik merupakan salah satu kebiasaan
yang dilakukan masyarakat Indonesia sejak dulu. Bahkan sejak manusia purba,
budaya mudik sudah ada salah satunya yaitu dalam kebiasaan hidup
berkelompok, manusia purba melakukan kegiatan berburu dan meramu yang mana
seorang kepala rumah tangga pergi berburu secara berkelompok bersama sama
sedangkan para istrinya menunggu di rumah untuk mengurusi anak dan
menjaga rumah sampai suaminya datang. Kegiatan ini terkadang berhari-hari
bahkan berminggu minggu, setelah itu baru mereka melakukan mudik atau pulang ke
tempat asalnya dengan membawa hasil buruan untuk kebutuhan hidupnya. Bisa
dikatakan berburu dan meramu,merupakan salah satu cirri dari masyarakat purba,
namun ada juga kebiasaan manusia purba yang lain yaitu hidup berpindah-pindah
dari satu tempat ke tempat lainnya guna mencari kebutuhan hidupnya apabila
tempat yang dia tinggali sudah tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga
mereka melakukan ekspansi ke wilayah lain. istilah ini biasa dikatakan sebagai Nomaden.
Begitupun pada masyarakat sekarang ini fenomena mudik terjadi karena adanya
fenomena migrasi, artinya bahwa kenapa ada mudik jawabannya karena adanya
migrasi. Mustahil adanya mudik apabila tidak ada migrasi. Oleh sebab itu jika
kita perhatikan dari tahun ke tahun fenomena mudik semakin bertambah hal ini
tentunya seiring dengan jumlah migrasi ke kota-kota besar. Menurut survey
beberapa kota yang menjadi sasaran mirgasi penduduk diantaranya yaitu Jakarta,
Bandung, Surabaya dan Medan hal ini dilihat dari jumlah pertambahan penduduk
tiap tahun yang terus meningkat.
Masyarakat
transisi dan budaya mudik
Menurut
Pasya dkk (2004 :206) masyarakat transisi merupakan masyarakat yang berada
diantara masyarakat tradisional dengan masyarakat modern, atau masyarakat
peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Lebih jelasnya
menyatakan bahwa Kehidupan masyarakat ini umumnya berada pada wilayah marginal
atau pinggiran kota –desa, secara fisik masih berada dalam di daerah
administrasi desa tetapi pengaruh kota terhadap kehidupan sudah nampak. Sejalan
dalam itu Pasya (2004: 212) membagi masyarakat transisi berdasarkan letak
dimana masyarakat itu berada, pembagian tersebut yaitu masyarakat transisi yang
berada di pedesaan, masyarakat transisi yang berada di pinggiran kota, dan
masyarakat transisi yang berada di perkotaan. dari ketiga masyarakat transisi
tersebut memiliki ciri –ciri yang khas dalam perkembangannya terutama dalam
pendidikan, mata pencaharian, kesehatan, lingkungan, dan mentalitas
penduduknya. Berkaitan dengan masalah kependudukan dalam hal ini yaitu masalah
urbanisasi dan perilaku masyarakatnya ternyata masyarakat transisi yang berada
di kota yang lebih banyak menimbulkan masalah social, seperti kesenjangan,
kesehatan, konflik dll. Hal ini dikarenakan mereka hidup dan menjadi masyarakat
kota namun masih banyak yang masih membawa sifat dan sikap (mentalitas)
tradisional sebagimana dibawa dari daerah asal. Mentalitas sebagai
masyarakat transisi bagi mereka yang berada di perkotaan sebagai pendatang,
tidak akan secara langsung menjadi masyarakat modern melainkan memerlukan
proses yang kecepatannya tergantung pada mereka sendiri untuk cepat
berubah dan menyesuaikan diri mejadi masyarakat modern. Perubahan mentalitas
ini tentunya akan lambat apabila masyarakat pendatang masih bergaul dan bertempat
tinggal dan berusaha dengan yang memiliki mentalitas yang sama.
Fenomen
mudik hubungannya dengan masyarakat transisi, sejauh ini fenomena mudik terjadi
dikota-kota besar, namun jika kita analisis lagi bahwa masyarakat yang
melakukan mudik bukan masyarakat kota asli, akan tetapi masyarakat desa yang
hidup di kota sehingga bisa dikatakan masyarakt tersebut adalah masyarakat
transisi, sebagaimana yang telah dijelasakn bahwa masyarakat transisi ini masih
bersifat tradisional artinya secara jasmani tinggal di kota namun secara mental
masih memiliki sifat daerah asal, sehingga budaya-budaya local masih dipegang
erat. Berbeda dengan masyarakat kota yang cenderung hidup modern, yang selalu
menganggap segala sesuatu diukur dengan materialistic, sehingga gaya hidupnya cenderung
lebih bersifat duniawi. Oleh sebab itu apabila dikaitkan dengan masalah mudik
tentunya masyarakat transisi yang lebih banyak disoroti karena masyarakat
inilah yang lebih banyak melakukan mudik dalam konteks tradisi. Masyarakat
transisi ini cenderung melakukan mudik sebagai suatu tradisi yang harus
dilakukan sebagai wujud kepatuhan terhadap adat keluarga di dalam daerah
tertentu. apalagi budaya mudik ini tidak akan terlepas dari perkembangan bangsa
ini, karena hanya bangsa-bangsa yang sedang berkembang yang memiliki banyak
masyarakat transisi yaitu peralihan masyarakat tradisional menuju masyarakat
modern.
Bagaimana
mengatasi mudik? sebagian orang mudik merupakan masalah bagi pemerintah, namun
ada juga fenomena mudik ini merupakan hal yang wajar karena merupakan
sebuah tradisi suatu bangsa, akan tetapi apabila mudik dijadikan sebuah
permasalahan tentunya harus dicari solusi agar fenomena mudik ini dapat
terselesaikan. Untuk menjawab pertanyaan ini tentunya akan lebih mudah di jawab
apabila kita memahami apa itu fenomena mudik, kenapa dan mengapa sehingga akan
ada solusi yang relevan dan akurat. Sudah dikemukakan diatas bahwa fenomena
mudik merupakan gejala yang ditimbulkan akibat dari migrasi penduduk, dalam hal
ini yaitu masuknya masyarakat pedesaan ke kota dalam jumlah yang banyak. Namun
disisi lain bahwa tidak semata-mata penduduk melakukan migrasi tanpa ada alasan
yang jelas ke daerah tujuan. Oleh sebab itu yang perlu dikaji adalah kenapa
sebagian penduduk desa melakukan migrasi ke kota, alasan inilah yang harus
ditangani oleh pemerintah agar penduduk desa tetap tinggal di daerahnya
masing-masing namun masyarakat dapat sejahtera. Sebagai gambaran nya yaitu
sejauhmana pemerintah memberikan pelayanan dan pemerataan pembangunan di
berbagai bidang pada daerah secara merata agar tekanan migrasi ke kota semakin
kecil. Namun sejauh ini dapat kita rasakan bersama bagaimana pemerintah
membangun bangsa ini bukan semakin maju malahan semakin terpuruk.
penulis : G.
Gunawan,S.Pd
Mudik dalam Perspektif Budaya
dan Syariat
Oleh Prof.
Dr. Misri A. Muchsin, Dekan
Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.
MUDIK
(pulang atau kembali ke kampung halaman) menjelang lebaran atau Hari Raya Idul
Fitri (terkadang juga lebaran Hari Raya Haji atau Idul Adha) setiap tahunnya
menjadi satu fenomena masyarakat Muslim modern di berbagai belahan dunia.
Tradisi ini mengasyikkan. Betapa tidak, setelah beberapa lama merantau di
“negeri” orang --jauh dari orang tua dan sanak kerabat lainnya-- kerap
menimbulkan kerinduan akan kampung halaman atau tanah kelahiran.
Keinginan
untuk berjumpa kembali dengan orang-orang terdekat yang telah lama (minimal
satu tahun terakhir) ditinggalkan itu lumrah adanya dan menjadi harapan semua
pihak. Oleh karenanya mudik menjadi yang sesuatu didambakan banyak orang.
Terlebih pada hari baik dan bulan baik menjelang Hari Raya Idul Fitri ini.
Fenomena
mudik bukan hanya masyarakat Aceh, tetapi masyarakat Muslim Indonesia dan malah
muslim dunia juga melakukannya. Berapa banyak TKI-TKW dan mahasiswa yang
kembali ke Indonesia pada masa-masa jelang lebaran, misalnya dari Malaysia,
Singapura, Korea, dan malah dari Arab Saudi serta Negara-negara Timur Tengah
lainnya. Begitu juga dengan orang-orang Maghrib (Marokko), Tunisia dan
Aj-Jazair yang bekerja di negara-negara lain di Eropa, Amerika dan di
negara-negara Timur Tengah sendiri, mereka juga pulang kampung atau mudik pada
hari-hari baik, khususnya pada menjelang lebaran Idul Fitri.
Mereka
pulang mulai yang menggunakan pesawat terbang, kapal laut, bus, kereta api,
sampai mobil dan sepeda motor, sehingga kadang-kadang jalan menjadi penuh sesak
dan macet. Pertanyaannya, bagaimana perspektif syariat Islam dalam hal mudik?
Adakah anjuran atau larangan soal pulang kampung tersebut?
Dalam hal
ini, jika dicermati satu firman Allah Swt berikut: “Sembahlah Allah dan
janganlah kamu persekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada
dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu Sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa’: 36)
Dalam ayat
tersebut di atas, Allah Swt dengan jelas dan tegas memerintahkan kepada kita
untuk berbuat baik kepada orang tua, karib kerabat, tetangga, teman sejawat dan
seterusnya. Dan ini menjadi satu kewajiban bagi semua hamba yang beriman dan
bertakwa kepada Allah. Berbuat baik dimaksudkan antara lain dengan mudik untuk
bertemu, bersalaman guna saling memaafkan dan sampai-sampai melepas kerinduan.
Tidak hanya
itu bagi pemudik biasanya membawa pulang sejumlah uang dan barang sebagai hasil
jerih payahnya selama di perantauan. Pemudik yang baik, biasanya tidak hanya
diperuntukkan bagi keluarga utamanya saja, tetapi juga dia berbagi untuk
keluarga dekat, tetangga dan teman sejawat dan seterusnya. Biasanya malah
mengadakan kenduri adalah bentuk syukur nikmat dan bersedekah dengan lebih luas
dan merata kepada masyarakatnya. Semua itu menjadi daya tarik dan kebanggaan
sendiri bagi pemudik, calon perantau lain dan keluarganya.
Dari sisi
lain lagi, dapat dilihat mudik sebagai upaya menyambung dan mempererat
hubungan silaturrahim. Setelah sekian lama mereka tidak bertemu, tidak ngumpul
dan tidak melakukan tukar informasi, maka dengan mudik tali silaturrahim akan
tersambung. Lebih-lebih bagi orang yang paham akan pentingnya bersilaturrahim,
yaitu akan dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka pilihan untuk
mudik menjadi lebih bermakna dan berguna bagi kehidupan seseorang di masa
datang, sebagaimana sabda Nabi saw: “Dari Anas ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkaan umurnya, maka
hendaklah ia suka bersilaturrahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari
penjelasan di atas jelaslah bahwa dalam perspektif budaya, mudik menjadi
tradisi yang terus eksis dan disukai oleh umat Islam dewasa ini. Pada sisi
lain, dalam sudut pandang syari’at Islam mudik, paling tidak berhubungan dengan
prinsip berbuat baik dan bersilaturrahim, adalah hal-hal yang dianjurkan dalam
syariat Islam. Dengan mudik seseorang dapat mengaplikasi bentuk pengabdian dan
berbuat baiknya kepada orang tua, anggota keluarga, dan kerabat lainnya.
Kemudian dengan mudik pula hubungan silaturrahmi yang selama ini mungkin sudah
renggang, dapat terajut kembali dengan baik. Wallahu A’lam bish-shawab!